Rusia tak setuju dengan deklarasi sepihak Haftar sebagai presiden Libya
Menteri Luar Negeri Rusia meminta pihak-pihak yang bertikai di Libya untuk melanjutkan dialog
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov pada Selasa memperingatkan kepada komandan Khalifa Haftar agar tidak menggunakan krisis Libya untuk membuat keputusan 'sepihak'.
Dalam sebuah pernyataan via video pada Senin, Jenderal Haftar yang memerangi pemerintah Libya yang diakui secara internasional di Tripoli, menyatakan dirinya "menerima mandat rakyat" untuk memerintah negara itu.
Menteri Luar Negeri Rusia berbicara pada sebuah konferensi pers, usai menghadiri pertemuan teleconference dengan BRICS - Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan.
Menlu Lavrov mengatakan bahwa Moskow menentang dua hal, penolakan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya untuk berbicara dengan Haftar dan deklarasi sepihak Haftar sebagai penguasa tunggal Libya.
"Kami tidak menyetujui pernyataan oleh Sarraj [Ketua GNA Fayez al-Sarraj] belakangan ini, yang menolak untuk berbicara dengan Haftar, dan kami juga tak mendukung pernyataan Haftar yang mana dirinya akan memutuskan nasib rakyat Libya secara sepihak.”
“Tak satu pun dari faktor-faktor ini membantu untuk menemukan solusi yang stabil, yang mana tanpa negosiasi itu mustahil untuk keluar dari krisis ini,” ujar dia.
Lavrov menyesalkan kurangnya perhatian pada inisiatif untuk melanjutkan dialog nasional, yang diusulkan oleh kepala Dewan Perwakilan Rakyat Libya Aguila Saleh.
"Saya perhatikan pernyataan terbaru, karena beberapa alasan telah menarik sedikit perhatian media - pernyataan ketua parlemen di Tobruk Aguila Saleh, yang menyerukan dialog nasional untuk membangun dialog demi membentuk otoritas yang dapat saling diterima, yang secara seragam menangani tiga bidang utama Libya," kata Lavrov.
Menteri Rusia itu memuji saran Saleh yang "masuk akal" dan berjalan sesuai dengan keputusan internasional dan kepentingan rakyat Libya.
GNA yang diakui oleh internasional digempur oleh pasukan Haftar sejak April tahun lalu, dengan lebih dari 1.000 orang tewas selama insiden kekerasan.
Sejak penggulingan penguasa lama Muammar Khaddafi pada 2011, dua kursi kekuasaan telah muncul di Libya: Haftar di Libya timur, didukung oleh Mesir dan Uni Emirat Arab, dan GNA di Tripoli, yang diakui oleh PBB dan internasional.
Milisi yang setia kepada Haftar telah berusaha untuk merebut Tripoli dan daerah-daerah sekitarnya sejak April lalu, dan upaya internasional untuk menegakkan gencatan senjata terbukti tidak berhasil.
Komandan pengkhianat itu kini sepenuhnya menolak untuk mematuhi perjanjian 2015, yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang bertikai di bawah naungan PBB di Maroko.