Pilkada di tengah pandemi, lanjut atau tidak?
PBNU menilai meski pilkada dilaksanakan dengan protokol kesehatan, namun sulit untuk dihindari pesta demokrasi lokal itu tidak melibatkan massa dalam jumlah banyak
Rencana pilkada serentak pada akhir Desember tahun ini menuai kritik dari berbagai kalangan serta desakan untuk menunda pelaksanaannya, karena dinilai tidak peka terhadap krisis pandemi covid-19.
Pemerintah akan menggelar Pilkada 2020 di 270 daerah yang dikhawatirkan banyak kalangan akan menjadi klaster penyebaran Covid-19 akibat potensi terjadi pelanggaran protokol kesehatan.
Bagaimana tidak, berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ada sekitar 243 pelanggaran protokol kesehatan dalam tahapan pilkada yang dilakukan oleh bakal pasangan calon dan juga partai politik saat pendaftaran.
Bahkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat ada sekitar 60 bakal pasangan calon pemilihan kepala daerah dari 21 Provinsi dalam status positif Covid-19.
Anggota KPU I Dewa Raka Sandi mengatakan 60 bakal pasangan calon tersebut dinyatakan positif setelah melakukan tes usap secara mandiri.
Menurut dia, dengan positifnya bakal pasangan calon tersebut akan menjadi evaluasi bersama karena kesehatan merupakan hal penting dalam rangka tahapan pemilihan kepala daerah selanjutnya.
Hal lain yang dievaluasi, kata I Dewa Raka, mengenai pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran bakal pasangan calon.
Ketua KPU Arief Budiman dan Anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi juga positif Covid-19 tanpa gejala.
Meski tidak berkaitan dengan pelanggaran protokol kesehatan, dikhawatirkan hal itu akan mengganggu tahapan Pilkada 2020.
Mereka yang mendesak penundaan pilkada, di antaranya Komnas HAM, dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Menuru Komnas HAM, Pilkada 2020 harus ditunda setidaknya sampai situasi penyebaran Covid-19 terkendali.
Tim Pemantau Pilkada 2020 Komnas HAM Hairansyah menyatakan penundaan perlu dilakukan menimbang situasi darurat saat ini.
“Pemilu yang dilakukan secara periodik bebas dan adil tetap menjadi suatu hal yang penting, namun harus lebih memperhatikan kesehatan dan keamanan publik,” kata Hairansyah melalui siaran pers pada pekan lalu.
Komnas HAM menilai penundaan Pilkada 2020 memiliki landasan yuridis yang kuat dan apabila tetap dilaksanakan justru berpotensi melanggar HAM seperti hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas rasa aman.
Hairansyah mengatakan proses dan tahapan yang telah berjalan dapat tetap dinyatakan sah dan berlaku untuk memberi kepastian hukum bagi para peserta Pilkada 2020.
Dengan adanya pelanggaran protokol kesehatan dan positifnya 60 bakal pasangan calon, Hairansyah menyatakan bahwa hal itu menunjukkan adanya klaster baru Pilkada.
“Pelaksanaan protokol kesehatan yang diwajibkan dalam setiap tahapan belum diterapkan secara maksimal dan banyak terjadi pelanggaran,” pungkas Hairansyah.
Sementara itu, PBNU menilai meski pilkada dilaksanakan dengan protokol kesehatan, namun sulit untuk dihindari pesta demokrasi lokal itu tidak melibatkan massa dalam jumlah banyak.
Ketua PBNU Nahdlatul Ulama Said Aqil Siraj mengatakan karena penularan Covid-19 telah mencapai tingkat darurat, prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah selayaknya untuk mengentaskan krisis kesehatan.
PBNU juga meminta agar adanya peninjauan ulang pelaksanaan pilkada karena banyak menimbulkan mudarat berupa politik uang dan politik biaya tinggi.
Pemerintah pastikan Pilkada tetap lanjut
Desakan tersebut tidak membuat pemerintah gentar. Presiden Joko Widodo memastikan Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal pada 9 Desember 2020 demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih.
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan penyelenggaraan pilkada harus dilakukan dengan disiplin protokol kesehatan ketat disertai penegakkan hukum dan sanksi tegas agar tidak terjadi klaster baru.
Jokowi – panggilan Presiden – menyatakan penyelenggaraan pilkada tidak bisa menunggu pandemi berakhir, karena tidak ada satu negara pun tahu kapan pandemi COVID-19 akan berakhir.
"Pilkada di masa pandemi bukan mustahil. Negara-negara lain seperti Singapura, Jerman, Perancis, dan Korea Selatan juga menggelar Pemilihan Umum di masa pandemi. Tentu dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat," kata Fadjroel Rachman pada Senin melalui keterangan resminya.
Pemerintah juga, kata dia, mengajak semua pihak untuk bergotong-royong mencegah potensi klaster baru penularan Covid-19 pada setiap tahapan Pilkada.
Berdasarkan Peraturan KPU nomor 6 tahun 2020, pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 harus menerapkan protokol kesehatan tanpa mengenal warna zonasi wilayah, kata Fadjroel.
Semua Kementerian dan Lembaga terkait juga sudah mempersiapkan segala upaya untuk menghadapi Pilkada dengan kepatuhan pada protokol kesehatan dan penegakan hukum, tambah Fadjroel.
Untuk menegakkan protokol kesehatan, pemerintah pun memiliki dua opsi yakni menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau merevisi Peraturan KPU (PKPU).
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan opsi pertama mengenai Perppu nantinya akan mengatur keseluruhan hal yang berkaitan dengan pencegahan, penanganan dan penegakan hukum terkait Covid-19.
"Karena tidak ada undang-undang spesifik yang mengatur mengenai COvid-19," kata Tito Karnavian pada Minggu dalam sebuah acara diskusi.
Opsi kedua kata dia yakni Perppu yang mengatur spesifik mengenai protokol Covid-19 untuk pilkada atau merevisi Peraturan KPU dalam waktu dekat.
"Kuncinya ada di KPU sendiri. kami mendorong membantu," tambah dia.
Sementara itu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu pada Senin, sepakat Pilkada 2020 tetap dilaksanakan pada 9 Desember mendatang.
Berdasarkan kesimpulan RDP pada Senin 21 September, pelaksanaan Pilkada 2020 mendatang harus dengan tetap penegakan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggar protokol kesehatan Covid-19.
Kesimpulan rapat Komisi II DPR, yang diterima Anadolu Agency, meminta KPU merevisi PKPU nomor 10 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam kondisi bencana non alam.
Beberapa hal yang perlu dicermati oleh DPR yakni melarang pertemuan yang melibatkan massa seperti rapat umum, konser dan arak-arakan, mendorong terjadinya kampanye melalui daring, dan penegakan sanksi hukum tegas sesuai dengan UU nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota.
Respons Partai Politik
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang merupakan salah satu calon Wakil Walikota Tangerang Selatan dari Partai Gerindra menyerahkan sepenuhnya kepada KPU dan KPU Daerah (KPUD) di wilayah masing-masing untuk menentukan pesta demokrasi tersebut dilanjutkan atau ditunda.
"Kami percaya, KPU dan KPUD masing-masing wilayah yang paling paham atas risiko dan kapasitas mitigasi di wilayahnya," kata Saraswati kepada Anadolu Agency pada Senin melalui pesan singkat.
Dia setuju kesehatan dan keselamatan bersama warga Tangerang Selatan merupakan prioritas utama.
"Kami percaya bahwasanya pemerintah dalam hal ini KPU dan KPUD juga berpikir sama," kata dia.
"Apa pun keputusannya mari tetap mematuhi protokol kesehatan dalam menghadapi pandemi ini dengan memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan sebisa mungkin menghindari kerumunan," tambah dia.
Sementara itu, Politisi dari Partai Nasdem Willy Aditya menilai harus ada metode ataupun mekanisme yang aman agar pilkada tetap berlanjut tidak menjadi klaster baru Covid-19.
"Entah dengan sistem online misalnya atau yang lainnya. Toh, kita sudah terbiasa dengan sistem ini di berbagai aktivitas dan kegiatan. Jadi saya kira deklarasi online, kampanye online, hingga e-voting bisa menjadi alternatif," kata dia.
Namun, Jika pelaksanaannya memang berisiko dan tidak bisa ditemukan metode pengganti yang aman bagi warga dari penularan Covid-19, tentu pilkada harus ditunda.
Tetapi jika ternyata ada atau ditemukan mekanisme atau metode yang aman dari penularan bisa dilanjutkan.
"Karena bagaimana pun tahapannya sudah dibuat dan disepakati," kata Willy Aditya kepada Anadolu Agency.
Dia menegaskan partainya tetap komprehensif melihat segala sesuatu dalam memutuskan nasib pilkada dengan tetap mempertimbangkan aspek keselamatan rakyat sebagai pertimbangan utama.
Semua pihak ikut berkontribusi merumuskan tahapan pilkada yang baik
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menilai menunda atau tidaknya Pilkada 2020 mendatang harus memiliki dasar yang berbasis evaluasi.
Selain itu juga, Koordinator JPPR Alwan Ola Riantobi sepakat dengan usulan dari PBNU, Komnas HAM dan Muhammadiyah mengenai keselamatan kemanusiaan merupakan prioritas utama.
Namun dia menilai semua pihak perlu merumuskan bersama-sama tahapan pilkada.
"Ini yang kita butuhkah bersama dan dorongannya Penyelenggara terutama KPU harus siap membangun skema tahapan yang ideal di masa pandemi seperti apa," kata Alwan kepada Anadolu Agency melalui sambungan telepon.
Jika Pilkada 2020 ditunda ataupun dilanjutkan, kata dia memiliki konsekuensi negatif dan juga positif.
Apabila opsi ditunda diambil maka 270 daerah memiliki kepala daerah yang tidak definitif.
Selain itu juga akan berdampak terhadap Pilkada serentak 2022 mendatang.
Jika penundaan sampai 2021 juga penting untuk memperhatikan skema tahapan baru bagi pilkada 2022.
Dia menambahkan ada 107 daerah yang akhir masa jabatannya di 2022. Jadi dalam sistem administrasi negara ada ketahanan perpolitikan kita berpengaruh itu satu hal kalau ditunda," kata Alwan.
Namun jika dilanjutkan, 270 daerah tersebut akan memiliki kepala daerah definitif selain itu juga pilkada akan memberikan dampak ekonomi secara besar bagi masyarakat secara keseluruhan karena ada perputaran ekonomi yang mengurangi faktor resesi ekonomi.
"Karena berapa orang KPPS yang diperkejakan, dan banyak aktivitas yang bisa memberikan peluang ekonomi baru," pungkas dia.
Sementara itu, Direktur Populi Center Usep Akhyar menilai secara politik, penundaan pilkada menjadi tidak mudah apalagi Presiden Jokowi beberapa pekan lalu menyatakan hampir tidak ada celah lagi bagi ditundanya pilkada karena pemerintah, DPR dan partai politik tetap bersepakat untuk terus melanjutkan pesta demokrasi.
Dari sudut pandang kandidat, diundurnya pilkada bisa berakibat pada hilangnya momentum politik bagi Sebagian pihak, terutama dari partai-partai yang memiliki calon petahana.
Apabila pilkada, baru diadakan tahun 2021 dengan PLT sebagai kepala daerah, maka calon petahana menjadi sejajar dengan penantang baru karena kehilangan sumberdaya untuk dikerahkan," kata Usep Akhyar kepada Anadolu Agency pada Senin.
Di sisi lain, diundurnya pilkada juga memiliki konsekuensi mundurnya pelaksanaan pilpres jelas dia.
"Belum tentu pihak yang kini menyuarakan agar pilkada diundur, memiliki pendapat yang sama terkait pilpres, terutama jika pada 2024 Covid-19 belum juga hilang," tambah dia.