Perjanjian Turki-Rusia tidak akan ubah kebijakan pengungsi
Sumber-sumber kepresidenan Turki mengevaluasi pertemuan antara Turki dan Rusia yang menyepakati gencatan senjata di Idlib
Sumber-sumber kepresidenan Turki mengatakan perjanjian Turki dan Rusia tentang gencatan senjata di provinsi Idlib Suriah tidak mengharuskan Ankara mengubah kebijakan pengungsinya.
"Perjanjian Rusia-Turki tidak mensyaratkan kembalinya perubahan yang dibuat pada kebijakan pengungsi Turki dan tidak mengubah fakta ketidakpatuhan Uni Eropa dengan janji-janjinya sebagai bagian dari kesepakatan pengungsi 2016," kata para sumber, Kamis.
“Uni Eropa harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam kerja sama dengan Turki, dan bukan melawan Turki, untuk mengakhiri krisis kemanusiaan di Suriah. Kesepakatan yang dicapai hari ini menunjukkan bahwa diplomasi kepemimpinan membuahkan hasil. Rusia telah memilih untuk menyetujui agar tidak mengorbankan hubungan multidimensi kita untuk ambisi dan keinginan rezim," tambah mereka.
Para sumber itu mengatakan pembicaraan mengenai Suriah pada hari sebelumnya antara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin dan delegasi masing-masing diadakan di lingkungan yang positif di Moskow.
Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan tentang gencatan senjata di Idlib.
Mereka mengatakan Erdogan sudah memperjelas sikap Turki bahwa jika tidak ada kesepakatan, negara itu akan menghilangkan unsur-unsur rezim dari Idlib dengan caranya sendiri.
Pada 1 Maret, Turki meluncurkan Operasi Perisai Musim Semi di Idlib setelah serangan rezim Bashar al-Assad menewaskan 34 tentara Turki akhir Februari.
Di bawah kesepakatan 2018 dengan Rusia, pasukan Turki berada di Idlib untuk melindungi warga sipil dari serangan rezim dan sekutunya.
Terletak di barat laut Suriah, provinsi Idlib menjadi markas kubu oposisi dan kelompok bersenjata anti-pemerintah sejak pecahnya perang sipil pada 2011.
Pada September 2018, Turki dan Rusia sepakat untuk mengubah Idlib menjadi zona de-eskalasi di mana tindakan agresi secara tegas dilarang.
Namun, rezim dan pasukan Rusia di zona itu terus melanggar gencatan senjata dan menyebabkan lebih dari 1.300 warga sipil tewas.
Para sumber mengatakan kebijakan luar negeri independen Turki, yang diadopsi sesuai dengan kepentingan nasionalnya, telah mencapai kesuksesan baru.
Mereka menambahkan bahwa Turki mengadakan negosiasi dengan Rusia dan juga menjamu Utusan Khusus AS untuk Suriah James Jeffrey di Istanbul pada hari yang sama.
“Kami melindungi kepentingan nasional kami dengan mencegah gelombang migran baru yang tidak teratur yang dapat datang dari Suriah dan kami telah membuat Barat, terutama Amerika Serikat, mendukung kami," ujar mereka.
"Turki telah menunjukkan tekadnya untuk memiliki suara di masa depan Suriah dengan memberikan pukulan berat kepada rezim Assad dengan sumber dayanya sendiri. Sekarang dipahami dengan baik bahwa setiap serangan terhadap tentara Turki tidak akan dibiarkan begitu saja,” tambah sumber kepresidenan.
Mereka mencatat bahwa Turki tidak akan memungkinkan negara-negara Barat untuk mendikte kondisi di Idlib dan Ankara membuktikan bahwa mereka tidak akan menjadi bidak siapa pun di wilayah tersebut dengan cara mengatasi masalah sendiri.
Para sumber menekankan bahwa industri pertahanan Turki telah membuktikan kemampuannya dalam krisis Idlib dan investasi yang dilakukan di bidang ini berada di tempat yang tepat.
"Perjanjian Turki-Rusia bukanlah halangan bagi AS dan Uni Eropa untuk mendukung Turki. Langkah-langkah membangun kepercayaan seperti penyebaran sistem pertahanan udara dan pembagian intelijen harus dilakukan. Negara-negara Eropa seharusnya tidak memberikan kesempatan kepada Rusia untuk menggunakan migran sebagai senjata melawan demokrasi Eropa. Apa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir telah mengungkapkan perlunya solusi komprehensif dan mendalam untuk krisis kemanusiaan di wilayah ini,” tambah mereka.