Eks komandan Angkatan Darat Pakistan tuding CIA bertanggung jawab atas kematian Ziaulhaq
Dua petinggi militer Pakistan punya opini yang berbeda tentang penyebab kecelakaan pesawat yang menewaskan presiden negara itu 32 tahun silam
Dua mantan jenderal Pakistan menyangkal keterlibatan mereka dalam pembunuhan Jenderal Muhammad Ziaulhaq.
Mereka juga menarik kesimpulan yang berbeda mengenai penyebab kecelakaan pesawat yang menewaskan mantan penguasa itu lebih dari tiga dekade lalu.
Dalam wawancara eksklusif dengan Anadolu Agency, Muhammad Ijazulhaq, mantan menteri Pakistan sekaligus putra mendiang Ziaulhaq menuding eks Panglima Angkatan Darat Jenderal Mirza Aslam Beg dan eks Penasihat Keamanan Nasional Jenderal Mahmood Ali Durrani bersekongkol untuk menjatuhkan pesawat C-130 pada 17 Agustus 1988.
Akibat kecelakaan tersebut, presiden, lima perwira militer, dan Duta Besar Amerika Serikat Arnold Lewis Raphel meninggal dunia.
Beg, yang menjabat selama 1998-1991, mengaku telah beberapa kali mengajukan permohonan penyelidikan selama masa jabatannya. Namun, pemerintah selalu mengabaikan permintaannya.
"Itu bukan kecelakaan, tetapi sabotase. Semua indikasi mengarah ke sana,” ungkap dia kepada Anadolu Agency.
Di sisi lain, Durrani, pemimpin divisi Multan yang mendampingi Ziaulhaq selama percobaan tank Amerika di Gurun Bahawalpur, menampik dugaan sabotase.
Dia bersikeras bahwa kecelakaan pesawat itu murni "kesalahan teknis".
Alih-alih merespons tuduhan konspirasi yang dilayangkan Ijazulhaq, Beg justru menggarisbawahi perannya dalam proses transisi kekuasaan ke pemerintahan sipil.
“Sayalah yang menyelenggarakan pemilihan umum. Saya juga yang menyerahkan kekuasaan ke pemerintah demokratis,” tegas Beg merujuk pada Pemilu November 1998, yang digelar tiga bulan pasca wafatnya Ziaulhaq.
"Jika saya terlibat dalam konspirasi, lalu apa manfaatnya bagi saya? Meskipun ada tekanan [dari militer], saya tidak memaksakan darurat militer. Saya bahkan tidak menerima perpanjangan masa jabatan. Konspirasi tidak menguntungkan saya sama sekali,” tukas dia.
Beg, bagaimanapun, punya alasan kuat bahwa Central Investigation Agency (CIA) punya andil dalam insiden tersebut.
"CIA selalu mencari kambing hitam,” tambah dia mengacu pada kematian utusan AS dalam kecelakaan itu.
Dia juga menyebutkan bahwa penyelidikan internal yang dilakukan oleh intelijen militer selama masa jabatannya telah menimbulkan kecurigaan mengenai keterlibatan CIA. Namun, Beg menolak untuk memberikan rincian lebih lanjut.
Durrani tampik dugaan sabotase
Menurut Ijazulhaq, dia punya bukti bahwa sejumlah peti bermuatan bahan peledak diangkut ke pesawat nahas itu.
Dia juga mengklaim bahwa gas saraf telah dipompa ke kabin untuk menargetkan sang pilot.
Sementara itu, Mahmood Ali Durrani menepis simpulan Beg. Dia menyebut teori konspirasi itu “kekanak-kanakan”.
“Ini bukan pertama kalinya C-130 mengalami gangguan teknis. C-130 pernah mengalami gangguan serupa di Bandara Karachi dan Chitral, berbulan-bulan sebelum kecelakaan itu,” ungkap Durrani kepada Anadolu Agency.
“Ziaulhaq bukan anak-anak. Dia adalah presiden dan kepala pasukan. Kunjungannya untuk uji coba tank adalah kemauannya sendiri. Bagaimana mungkin saya memaksanya untuk pergi ke tempat yang tidak dia iinginkan,” ujar mantan penasihat nasional keamanan yang menjabat selama 1961-1988.
Durrani juga membantah tuduhan Ijazulhaq yang menyebutkan bahwa Durrani telah menghubungi ayahnya 16 kali untuk meyakinkannya terbang ke Bahawalpur.
“Ini bohong! Saya hanya menghubungi presiden dua kali, beberapa hari sebelum kunjungannya ke Bahawalpur. Jika dia serius, seharusnya dia sudah menuntut penyelidikan!” tukas dia.
Meskipun begitu, Durrani mendukung permintaan Ijazulhaq untuk mempublikasikan laporan Komisi Keadilan Shafi-ur-Rehman.
"Sangat disayangkan banyak laporan yang tidak pernah dipublikasikan, termasuk laporan Komisi Keadilan Shafi-ur-Rehman. Akibatnya, teori konspirasi pun banyak bermunculan. Saya yakin jika laporan-laporan ini dirilis, maka tidak akan ada lagi teori konspirasi,” kata dia lagi.
Ijazulhaq telah menjabat sebagai menteri federal di bawah kepemimpinan mantan presiden Jenderal Pervez Musharraf dan mantan perdana menteri Nawaz Sharif.